27
Mei
09

Implementasi Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Islam

1. KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah  kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonmian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar, dalam analisis ekonomi makro, memiliki pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga-harga. Uang yang beredar terlalu tinggi tanpa disertai kegiatan produksi yang seimbang, akan ditandai dengan meningkatnya harga-harga pada seluruh barang dalam perekonomian atau dikenal dengan istilah inflasi.

Kebijakan moneter dalam perekonomian modern dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu opersi pasar terbuka (open market operation), penentuan tingkat bunga, ataupun penentuan besarnyacadangan wajib dalam sektor perbankan. Ada instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah selaku pengelola moneter, yaitu himbauan moral atau moral persuasion.

Sektor yang paling berperan dalam kebijakan moneter adalah sektor perbankan. Melalui pengaturan sektor perbankan itulah, pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan moneternya dengan menggunakan instrumen atau alat-alat yang telah dijelaskan di atas.

Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah mengajarkan banyak hal kepada kita. Perekonomian Indonesia yang ikut terseret dalam pusaran krisis yang berkepanjangan, ditengarai oleh kebijakan moneter yang tidak efektif.  Bahkan keterlibatan IMF dan Bank Dunia membantu pemerintah Indonesia dalam penanganan krisis secara moneter justru membuat keadaan semakin parah. Itulah antara lain yang membuat efektivitas kebijakan moneter dalam mengelola perekonomian banyak diperdebatkan para ahli. Salah satu penyebab ketidakefektifan itu adalah digunakannya suku bunga perbankan sebagai salah satu kebijakan moneter.[1]

a) Paradoks Manajemen Moneter Berbasis Bunga

Kebijakan moneter berbasis bunga selalu menghasilkan konflik dengan sektor riil akibat dampak dari inflatoir[2]-nya melalui ekspansi jumlah uang beredar. Ketika otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi dan secara simultan mengoptimalkan operasi pasar terbuka, maka ekses likuiditas diserap,keinginan meminjam menurun, sehingga menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa. Dengan demikian, suku bunga yang lebih tinggi akan membuat jumlah uang beredar mengalami kontraksi sehingga menurunkan tekanan terhadap kenaikan harga.

Namun rasionalitas ini tidak shahih secara empiris. Pertama, tingkat aktual suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk menciptakan uang secara signifikan. Perbankan konvensional hidup dari interest spread, mendapatkan pendapatan bung yang lebih tinggi dari kewajiban bunga pihak ketiga yang mereka himpun. Maka, di tingkat suku bunga berapapun, perbankan akan berusaha meningkatkan laba dengan cara meminjamkan uang lebih banyak baik ke sektor riil maupun sektor finansial, atau meningkatkan size of the spread.

Kedua, perilaku konsumen tidak selalu sensitif terhadap suku bunga. Ketika konsumen benar-benar membutuhkan suatu barang, mereka tetap akan meminjam untuk membeli barang tersebut meskipun dengan suku bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian, sebagai kombinasi dari faktor pertama dan kedua, kenaikan suku bunga hanya akan mendorong jumlah uang beredar dan tingkat utang dalam perekonomian akan meningkat.[3]

b) Menuju Manajemen Moneter Bebas Bunga

Dalam manajemen moneter Islam, tujuan kebijakan moneter ditujukan untuk mengelola sumberdaya finansial agar sejalan dengan maqashid syariah yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali yang berfokus pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan persfektif ini, maka Islam mendorong manajemen moneter bebas bunga yang secara langsung menghubungkan return sumber daya finansial dengan hasil dari proyek di sektor riil.

Selain meminimalkan potensi decoupling, mengaitkan sektor moneter dengan sektor riil secara langsung juga akan meminimalkan potensi permintaan uang untuk kegiatan yang mubazir, tidak produktif dan sia-sia, baik di sektor publik maupun privat. Dalam jangka panjang, secara substansi akan meningkatkan tingkat tabungan dan investasi, menurunkan defisit anggaran dan ketidakseimbangan makro ekonomi serta mendorong pemerataan pendapatan.

Pada saat yang sama pengenaan zakat terhadap sumber daya finansial yang menganggur, secara efektif mamaksa pemiliknya untuk mencari peluang-peluang investasi yang prospektif di sektor riil agar terhidar dari penurunan tingkat kesejahteraan. Dalam sistem di mana bunga dilarang dan zakat diterapkan, ide-ide bisnis segar akan berkembang dan menjadi gelombang inovasi (creative destruction) yang mendorong dinamika perekonomian riil.

Setelah menstabilkan permintaan uang dan membuatnya sejalan dengan maqashid, maka tujuan kebijakan moneter berikutnya adalah mengestimasi permintaan uang dan menetapkan target pertumbuhan uang yang beredar sesuai. Pesan terpenting adalah pertumbuhan uang yang beredar sesuai dengan pertumbuhan sektor riil yang sejalan dengan maqashid syari’ah.[4]

c) Aplikasi Instrumen Moneter Islam di Indonesia

Peraturan perbankan syariah ayng dikeluarkan pada 1998, yang menggantikan peraturan perbankan syariah tahun 1992, memungkinkan perkembangan syariah dengan cepat. Apalagi pada tahun 2008 telah disahkan undang-undang baru bank syariah (UUPS) yang menggantikan UUPS tahun-tahun sebelumnya. Terjadi peningkatan jumlah cabang bank syariah , baik dari bank umum yang berdasarkan syariah maupun divisi syariah bank umum konvensional. Meningkatnya kemampuan menyerap dana masyarakat terlihat dari dana simpanan yang tercantum di neraca bank-bank syariah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bank Indonesia, sebagi bank sentral dan bank yang memiliki otoritas moneter, lebih menaruh perhatian dan lebih berhati-hati dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap bank-bank umum, tanpa mengganggu momentum pertumbuhan bank-bank syariah tersebut.

Terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah Islam, BI menjalankan fungsinya bank sentral dengan instrumen-instrumen sebagai berikut.

  1. Giro Wajib Minimum (GWM): biasa dinamakan juga statutory reserve requirement, adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan Persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan (Prudential Banking) serta berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.

besaran GWM adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Giro Wadiah;
  2. Tabungan Mudharabah;
  3. Deposito Investasi Mudharabah; dan
  4. Kewajiban lainnya.

Dana Pihak Ketiga dalam IDR tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan BPR. Sedangkan Dana Pihak Ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban kepada pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri atas :

  1. Giro Wadiah;
  2. Deposito Investasi Mudharabah; dan
  3. Kewajiban lainnya.

BI mengenakan denda terhadap kesalahan dan keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GWM. Bank yang melakukan pelanggaran juga terkena sanksi.

  1. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah (Sertifikat IMA): yaitu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak digunakan sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami kekurangan dana.

Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh BI. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankannya kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran dilakukan oleh bank syariah penerbit sebesar nilai nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer elektronik).

  1. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI): yaitu instrumen Bank Indonesia sesuai dengan syariah Islam. SWBI juga dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan liquiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.

Dalam operasionalnya, SWBI mempunyai nilai nominal minimum Rp 500 juta dengan jangka waktu dinyatakan dalam hari (misalnya: 7 hari, 14 hari, 30 hari).pembayaran atau pelunasan SWBI dilakukan melalui debet/kredit rekening giro di Bank Indonesia. Jika jatuh tempo, dana akan dikembalikan bersama bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat IMA.[5]

2. KEBIJAKAN FISKAL

Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat di artikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam system pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government expenditure). Dalam negara Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu pernagkat untuk mencapai tujuan syariah (maqoshidus syari’ah) yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan.

Laranagan bunga yang diberlakukan pada tahun hijriah keempat telah mengakibatkan sistem ekonomi Islam yang diberlakukan oleh nabi terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, negara Islam yang dibangun oleh nabi tidak mewarisi harta sebagai mana layaknya pendirian suatu negara. Oleh karena itu, kita akan mampu melihat bagaimana kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara islam ersebut.

A. Kebijakan Pendapatan dalam Ekonomi Islam

Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fa’I, jizyah, kharaj, shadaqoh, dan lain-lain. Jika diklasifikasikan pendapatan maka tersebut ada yang bersifat ruti seperti : zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak, dan shadaqoh serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti : ghanimah, fa’I, dan harta yang tidak ada pewarisnya.

Secara umum ada kaidah-kaidah syari’ah yang mebatasi kebijakn tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).

  1. 1. Kaidah Syari’ah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Pajak

Ajaran islam dengan rinci telah menentukan, syarat kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tariff yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang dengan nashnash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan Para Sahabat telah memberi contoh mengenai fleksibelitas. Nabi pernah menangguhkan zakat pamannya Abbas karena krisis yang dihadapinya, sementara Sayyidina Umar menagguhkan zakat mesir karena paceklik yang melanda mesir pada tahun tersebut. Selai fleksibelitas di atas kaidah lainnya fleksibelitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai.

  1. 2. Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan yang Berasal dari Aset Pemerintah

Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari asset pemerintah dapat dibagi dalam dua kategori : (a) pendapatan dari asset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi asset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. Ketika asset tersebut dikelola individu masyarakat maka pemerintah berhak menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil yang dihasilkan oleh asset tersebut dengan berpedoman dengan kaidah umum yaitu maslahah dan keadilan; (b) pendapatan dari asset yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasrkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam, dan yang semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah modern adalah sarana-sarana umum yang angat dibutuhkan mayarakat.

  1. 3. Kaidah Syari’ah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak

Prisip ajaran Islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secar paksa (Undang-undang dalam ekonomi modern). Sesuli apapun kehidupan Rasulullah SAW. Di madinah beliau tidak pernah menentukan kebijakan pemungutan pajak. Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satu-satunya sektor pendapatan terpenting terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan kepada publics goods dan mempunyai tujuan sebagai alat redistribusi, penstabilan dan pendorongan pertumbuhan ekonomi. Seandainya pungutuan pajak tersebut diperbolehkan dalam Islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu punutan tersebut hanya bagi orang yang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul-betul sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pendapatan lainnya.

B. Kebijakan Belanja dalam Ekonomi Islam

Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh landasan-landasan syar’iyah dan penentuan skala perioritas. Para ulama terdahulu telah memberika kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadis dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antar kaidah (Chapra : 1995,288-289) tersebut adalah :

    1. Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
    2. Menghindari masyqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
    3. Mudharat individu dapat dijadikan alas an demi menghindari mudharat dalam skala umum.
    4. Pengorbanan individu dapat dilakuakn dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
    5. Kaidah al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapat manfaat harus siap menanggung beban (yang untung harus siap menanggung kerugian).
    6. Kaidah Ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapt dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektifitas dan efesiensi pembelanjaan pemerintah dalam islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan dalam pemerintah Islam :

a)      Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.

b)      Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.

c)      Pengeluaran yang mengarah kepada semakin bertambahnya permintaan efektif.

d)     Pengeluaran yang berkaitan denganinvestasi dan produksi.

e)      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.



2 Tanggapan to “Implementasi Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Islam”


  1. Mei 31, 2009 pukul 1:30 pm

    salam,
    seneng baca tulisan saudara tentang kebijkan moneter dan fiskal Islam,
    sebagaimana kita tahu,kebijan moneter dan fiskal menyangkut kebijakan makro ekonomi yang tujuan akhirnya adalah welfare atau kesejahteraan rakyat di negara tersebut..
    terkait hal tersebut menurut anda mana yang harus di implementasikan, kebijakan yang dapat mengantarkan kepada kesejahteraan walaupun bukan kebijakan yang berdasarkan nilai agama, atau kebijakan yang berdasarkan agama, walaupun belum tentu dapat mencapai keejahteraan?
    Terima kasih

    • Juni 5, 2009 pukul 3:08 pm

      wa’alaikum salam..
      agama adalah a way of life yang memberikan pedoman bagi manusia untuk dapat menjalani hidupnya dengan baik.
      begitu juga dengan welfare atau kesejahteraan, agama khususnya Islam memberikan pedoman hidup bagi manusia untuk mendapatkan kesejahteraannya baik di dunia dan juga di akhirat nanti.
      jadi, menurut saya kebijakan ekonomi yang berdasarkan agama Islam (Kebijakan ekonomi syariah) yang harus diimplementasikan
      karena kebijakan ini sudah terbukti dengan dia tahan terhadap krisis ekonomi yang diakibatkan oleh sistem bunga (riba) yang melanda dunia dan dengan tahan terhadap krisis ekonomi akan berdampak pada kesejahteraan yang terjadi.
      terima kasih


Tinggalkan komentar


Mei 2009
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031